MANFAAT MENGANALISIS KONFLIK DENGAN BELAJAR PEMETAAN KONFLIK, POHON KONFLIK DAN SEGITIGA SPK (SIKAP, PERILAKU DAN KONTRADIKSI)
MANFAAT MENGANALISIS KONFLIK DENGAN BELAJAR
PEMETAAN KONFLIK, POHON KONFLIK DAN SEGITIGA SPK
(SIKAP, PERILAKU DAN KONTRADIKSI)
Oleh: Resti Nur Laila, S. Pd.
Guru Sosiologi SMA Negeri 1 Donorojo
Indonesia merupakan negara dengan heterogenitas yang sangat tinggi. Suku, agama, ras, budaya, Bahasa daerah, agama dan kepercayaan yang berbeda-beda membuat wilayah negara kita rawan konflik. Mempelajari konflik sangat penting dilakukan sebagai upaya antisipasi yang efektif agar bangsa ini terhindar dari konflik. Terlebih bagi Gen Z yang akrab dengan teknologi, mereka harus jeli terhadap berita hoaks. Faktor lain yang bisa menyebabkan kerawanan konflik dikalangan Gen Z adalah adanya perbedaan nilai yang dapat memicu konflik serta adanya tantangan dari perubahan yang cepat dalam masyarakat dan teknologi. Oleh karena itu, meskipun berdampingan dengan teknologi, Gen Z memerlukan pendampingan dan bimbingan agar dapat bermasyarakat secara harmonis.
Sosiologi sebagai salah satu mata pelajaran pilihan dijenjang SMA mengajarkan materi konflik di tingkat kelas XI pada semester kedua. Pada mata pelajaran sosiologi kelas XI, konflik dipelajari dengan tujuan menjelaskan berbagai resolusi konflik dan upaya membangun perdamaian, serta menerapkan pemanfaatan alat analisis konflik dalam penelitian. Resolusi konflik dapat diputuskan jika kita mengetahui akar permasalahan dari konflik tersebut. Agar dapat memberikan resolusi konflik yang tepat, maka kita dapat memanfaatkan alat analisis konflik sehingga dampak konflik bisa diminimalisir.
Pembelajaran sosiologi kelas XI di SMA Negeri 1 Donorojo berusaha menerapkan pembelajaran yang kontekstual yang sesuai dengan fenomena kehidupan masyarakat agar siswa dapat membayangkan bagaimana kronologi, suasana, dampak-dampak sehingga timbul perasaan waspada dan mawas diri setelah mempelajari kasus konflik tersebut. Guru membagi siswa menjadi 9 kelompok dengan tema konflik yang berbeda-beda, diantaranya; Kerusuhan Tahun 1998, Konflik Aceh, Pengusiran Mahasiswa Papua di Yogyakarta, Kasus Konflik Maluku, Konflik Sampit, Konflik Poso, Pemberontakan PKI di Madiun, Konflik di Situbondo Tahun 1996, dan Konflik di Nusa Tenggara Barat (NTB) Tahun 2013.
Sebelumnya siswa telah mempelajari faktor penyebab konflik, bentuk-bentuk atau jenis-jenis konflik, bentuk-bentuk kekerasan, dampak konflik dan kekerasan, serta penanganan konflik untuk menciptakan perdamaian. Sub bab di atas menguatkan konsep konflik dengan mempelajari akar konfliknya sampai bagaimana kita menyelesaikan konflik. Selesai mempelajari sub bab tersebut, siswa kemudian menganalisis kasus konflik yang mereka dapatkan dengan membuat pemetaan konfliknya, pohon konflik dan segitiga SPK (Sikap, Perilaku dan Kontradiksi). Ketiga hal ini merupakan alat dalam menganalisis konflik sehingga siswa bisa menjelaskan konflik dengan lebih ringkas sehingga orang lain juga mudah memahaminya.
Ketiga alat analisis konflik di atas memiliki kesamaan yakni memanfaatkan gambar visual untuk menjelaskan bagaimana alur konfliknya, sedangkan perbedaannya adalah pada fokus analisisnya. Pemetaan konflik berfokus menganalisis hubungan antarpihak yang terlibat konflik. Pohon konflik menganalogikan konflik dengan sebuah pohon dimana kita harus mencari tahu mulai dari akar pohon berarti faktor penyebab konfliknya, batang pohon sebagai akar utama penyebab konflik, serta ranting-ranting sebagai dampak atau konsekuensi konflik. Terakhir, segitiga SPK mengidentifikasi sikap (attitude) yaitu cara para pihak merasakan dan berpikir mengenai konflik yang mereka alami, Perilaku (behavior) merujuk pada tindakan para pihak dalam menyikapi konflik, baik melalui sikap maupun perkataan. Kontradiksi (contradiction) merujuk pada inti dan penyebab pertentangan yang muncul atau merujuk pada akar munculnya konflik.
Dari Sembilan (9) tema konflik yang sudah dibagi, siswa kemudian berdiskusi dengan teman kelompoknya untuk menganalisis konflik dengan ketiga alat tersebut. Hasil diskusi mereka ditulis dalam buku tugas mereka. Berikut merupakan hasil diskusi siswa mengenali peta konflik Kerusuhan Tahun 1998.
Gambar 1. Peta Konflik
Dari gambar di atas, kita dapat membaca hubungan-hubungan antarpihak yang digambarkan kedalam simbol-simbol garis. Pihak-pihak yang terlibat yaitu masiswa Kampus Trisakti, jajaran pemerintah, aparat kepolisian hingga menyeret masyarakat dari ras Tionghoa yang terseret karena adanya kecemburuan sosial.
Gambar 2. Pohon Konflik
Gambar di atas merupakan hasil analisis pohon konflik dari kasus konflik antarumat beragama yang terjadi di Situbondo Tahun 1996. Dari analisis tersebut dapat kita telusuri akar pohon atau faktor penyebab konflik yaitu adanya tuduhan pencemaran agama, kesalahpahaman massa demonstran serta adanya provokasi massa yang membuat keadaan semakin rusuh. Masalah utama dari kasus konflik ini adalah ketidakpuasan massa terhadap dijatuhkannya vonis ringan kepada pelaku pencemaran agama yang menyebabkan munculnya kerusuhan. Dampak-dampaknya digambarkan dalam cabang dan daun dalam pohon konflik yakni timbulnya kerusakan bahkan hilangnya nyawa.
Gambar 3. Segitiga SPK (Sikap, Perilaku dan Kontradiksi)
Terakhir, segitiga SPK dari kasus konflik GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Kita dapat melihat sikap dari point of view masing-masing pihak yang berkonflik. Perilaku dari adanya kasus konflik tersebut antara lain eksploitasi sumber daya alam yang menimbulkan aksi pemberontakan dan kekerasan, adanya indikasi pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) serta muncul protes dan aksi damai. Kontradiksi yang muncul salah ssatunya adalah adanya keinginan kemerdekaan sebuah wilayah namun bertentangan dengan kedaulatan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Meskipun analisis di atas belum sepenuhnya sempurna, namun upaya siswa dalam memahami kasus konflik patut diapresiasi. Terlebih sudah menjadi tugas guru untuk memberikan penguatan dari apa yang telah mereka kerjakan.
Diakhir sesi pembelajaran, guru menanyakan pertanyaan refleksi mengenai manfaat yang dirasakan setelah menganalisis konflik dengan alat analisis konflik ini. Menurut Vina Revita (XI F-1), ia merasa lebih mudah menganalisis dan lebih memahami inti dari suatu konflik. “Tentunya juga lebih simpel tetapi dapat menjelaskan keseluruhan melalui 3 cara analisis, dan gen z kan maunya yang efesien waktu dan yang simpel-simpel bu. Jadinya cocok dengan analisis 3 cara tersebut.” Hal yang sama juga dirasakan Mellysa Arvithania (XI F1), selain merasa lebih mudah mengomunikasikan suatu konflik, analisis konflik dengan contoh nyata di masyarakat bisa menumbuhkan kepekaan sosial dan kritis terhadap isu politik, “Yang saya rasakan setelah belajar menganalisis konflik tentunya jadi lebih mudah untuk memahami akar suatu konflik Bu, dan yang paling saya rasakan benefitnya adalah saya jadi lebih mudah mengkomunikasikan suatu konflik dengan teman, dari diskusi dan analisi juga kemampuan berpikir kritis sebagai gen z lumayan berkembang. (saya jadi lebih melek dan kritis politik)”.
Mempelajari konflik juga dapat membantu melatih siswa untuk mencari solusi yang tepat dari sebuah kasus konflik, seperti yang dijelaskan Rizqi Fitria Rahma (XI F1), “saya bisa lebih melihat dari berbagai sudut pandang bukan hanya terpaku pada akar permasalahannya saja dan juga dapat mempermudah saya untuk mencari solusi yang tepat untuk kasus konflik yang terjadi”. Dari hasil refleksi di atas, dapat kita ketahui bahwa memberikan contoh kontekstual dalam pembelajaran serta menganalisisnya secara mendalam menggunakan alat bantu yang sederhana bisa membantu siswa dalam memahami materi.


-100x100.png)


