-800x800.png)
NYADRAN, RUWAHAN DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM
NYADRAN, RUWAHAN DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM
Oleh : Hanifah
e-mail: hanifkhafid@gmail.com.
Pada bulan sya’ban bulan ke-8 dari bulan qamariyah atau yang sering disebut ruwah menjelang datangnya bulan ramadan masyarakat di Jawa banyak yang menjalankan berbagai tradisi sebagai penyemarak untuk menyambut bulan suci. Di Jawa Tengah dan Yogyakarta sangat lekat dengan istilah Nyadran, Ruwahan, Nyekar maupun Ziarah kubur ke makam para leluhurnya.
Di kalangan umat Islam dalam melihat ritual nyadran, ruwahan banyak pro dan kontra. Bagi kalangan yang pro menganggap bahwa nyadran ataupun ruwahan merupakan budaya masyarakat muslim yang juga memiliki landasan agama, atau paling tidak, memiliki dasar-dasar pemahaman yang tidak berselisih dengan syariat. Sedangkan bagi yang kontra, nyadran dinilai berselisih dengan ajaran agama, karena dianggap tidak ada dasar hukumnya yang jelas.
Merujuk pada KBBI, istilah Nyadran atau sadran-menyadran adalah mengunjungi makam pada bulan Ruwah untuk memberikan doa kepada leluhur dengan membawa bunga atau nyekar hingga membawa sesajian pendukung lainnya. Sementara makna Ruwahan sendiri menurut KBBI ialah tradisi di Jawa untuk mendoakan orang (keluarga, tokoh, dan sebagainya) yang telah meninggal dunia dan dilakukan pada pertengahan bulan Ruwah atau Syakban.
Melansir dari laman NU Jepara, tradisi ruwahan atau nyadran merupakan kegiatan komunal seperti mengundang tetangga, mengumpulkan jamaah di masjid maupun di rumah untuk melakukan doa bersama, istighosah, tahlilan, yasinan yang ditujukan kepada leluhur, orang tua maupun keluarga yang sudah meninggal. Mendoakan arwah leluhur bertujuan untuk memintakan ampunan, Rahmat kepada Allah dan syafaat dari Rasulullah SAW serta diakhiri dengan “berkatan” atau berkatan nasi dalam besek yang nantinya dibawa pulang ke rumah dan diberikan kepada anak dan keluarga.
Faham soal takfiri (mengkafirkan), tabdi (membidahkan), tasyri (mensyirikkkan) terbentuk melalui pemahaman Islam konservatif. Tradisi nyadran ataupun ruwahan tersebut memang tak bersumber pada Al-Quran maupun as-Sunnah, sehingga tak ada standar baku dan dapat dilakukan sesuai kekhasan setiap daerah. NU berpandangan, selama tradisi-tradisi dilakukan dengan cara yang beradab dan tidak menyimpang dari syariat maka tradisi tersebut layak disebut sebagai khazanah kearifan lokal yang patut dilestarikan.
Menurut penulis dalam ajaran syari’at islam memang secara spesifik tidak ada perintah ruwahan atau nyadran ataupun ziarah kubur pada bulan ataupun hari-hari tertentu, akan tetapi dasar yang dipakai adalah ayat al-Qur’an dan al Hadis tentang perintah untuk berdo’a bagi kaum muslimin dan muslimat, ziarah kubur dan birrul walidain. Dalam konteks Nyadran atau ruwahan, ziarah kubur tidaklah sekedar resik-resik makam ataupun tabur bunga saja substansinya adalah mendoakan leluhur, orang tua, keluarga sebagai wujud birrul walidain dengan membaca ayat al-Quran, berbagi sedekah atas nama mayit, sebagai bakti anak shaleh kepada orang tuanya yang sudah meninggal sebagaimana disabdakan Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah : Artinya: "Apabila anak adam (manusia) telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya darinya, kecuali tiga perkara, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang selalu mendo’akannya ." (HR Muslim No. 1631). Wallahu a’lam