
AKHIR HAYAT SANG PENGGAGAS PANCASILA
AKHIR HAYAT SANG PENGGAGAS PANCASILA
Oleh: Yeni Murniasih, S.Pd, M.Pd
SMA Negeri 1 Donorojo
Soekarno Sang Fajar Revolusi Penggagas Pancasila
Soekarno, sebagai proklamator kemerdekaan dan Presiden pertama Republik Indonesia, memiliki peran sentral dalam sejarah bangsa. Salah satu warisan terbesarnya adalah Pancasila, dasar negara yang hingga kini menjadi fondasi ideologi Indonesia. Namun, akhir hayat Soekarno diwarnai dengan kesepian dan pengasingan politik, jauh dari gemerlap kekuasaan yang pernah ia miliki. Soekarno lahir pada 6 Juni 1901 di Surabaya dengan nama Koesno Sosrodihardjo. Ia kemudian mengganti namanya menjadi Soekarno. Sejak muda, Soekarno aktif dalam pergerakan nasional dan dikenal sebagai orator ulung yang mampu membakar semangat rakyat. Perjalanan hidupnya penuh dengan perjuangan, termasuk mengalami penahanan dan pengasingan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada 1 Juni 1945, dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Soekarno menyampaikan pidato yang kemudian dikenal sebagai "Lahirnya Pancasila". Dalam pidato tersebut, ia mengusulkan lima prinsip dasar negara: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan yang Maha Esa. Lima prinsip ini disebut Soekarno sebagai Pancasila.
Gejolak Politik dan Kejatuhan Soekarno
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Soekarno diangkat sebagai Presiden pertama Republik Indonesia.Selama masa kepemimpinannya, Soekarno menghadapi berbagai tantangan, termasuk agresi militer Belanda, pemberontakan dalam negeri, dan dinamika politik global.Ia juga dikenal dengan konsep "Demokrasi Terpimpin" dan kebijakan luar negeri yang bebas aktif. Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) pada tahun 1965 menjadi titik balik dalam kehidupan politik Soekarno.Setelah peristiwa Gerakan 30 September (G30S) pada tahun 1965, posisi Soekarno sebagai Presiden mulai terguncang.Pada 12 Maret 1967, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mencabut kekuasaan pemerintahan negara dari Soekarno melalui Ketetapan MPRS Nomor 33/1967.Sejak saat itu, Soekarno menjalani status sebagai tahanan politik.Awalnya, ia ditempatkan di Istana Bogor, kemudian dipindahkan ke Batutulis, Bogor, sebelum akhirnya pada tahun 1969 dipindahkan ke Wisma Yaso di Jakarta Selatan . Wisma Yaso sebelumnya merupakan kediaman Ratna Sari Dewi, istri Soekarno, menjadi tempat pengasingan terakhir bagi sang proklamator.
Kesehatan yang Tergerus dan Pengasingan yang Memilukan
Meskipun berada di Jakarta, akses Soekarno terhadap dunia luar sangat dibatasi. Keluarga dan kerabat harus mendapatkan izin khusus untuk menjenguk, dan setiap barang yang dibawa, termasuk makanan, harus diperiksa terlebih dahulu . Kesepian dan keterasingan mewarnai hari-hari Soekarno di Wisma Yaso. Selama masa pengasingan, kesehatan Soekarno mengalami penurunan drastis. Ia menderita berbagai penyakit kronis, termasuk gangguan fungsi ginjal, jantung, dan tekanan darah tinggi. Ginjal kirinya sudah tidak berfungsi, sementara ginjal kanannya hanya berfungsi sekitar 25% . Meskipun demikian, akses terhadap perawatan medis yang memadai sangat terbatas. Dokter pribadi Soekarno, Suroyo, mengeluhkan sulitnya mendapatkan bantuan dari tim dokter spesialis, yang enggan datang ke Wisma Yaso karena takut diintimidasi . Setiap hari adalah perjuangan bagi Soekarno. Catatan-catatan dari ajudan maupun keluarganya, mengungkapkan bagaimana sang Proklamator seringkali harus menahan rasa sakit. Pembatasan kunjungan, pengawasan ketat, dan ketidakpastian nasib semakin menguras energi dan semangat hidupnya. Ia yang dulu selalu berpidato membakar semangat jutaan rakyat, kini hanya bisa terbaring lemah, menyaksikan dunia dari balik jendela pengasingan.
Selain menghadapi masalah kesehatan, Soekarno juga harus menjalani interogasi dari Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) terkait peristiwa G30S. Interogasi ini berlangsung meskipun kondisi kesehatannya semakin memburuk. Permintaan dari putrinya, Rachmawati, dan dokter Mahar Mardjono akhirnya menghentikan interogasi tersebut . Pada 16 Juni 1970, kondisi kesehatan Soekarno memburuk secara signifikan, dan ia dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto. Lima hari kemudian, pada 21 Juni 1970 pukul 07.07 WIB, Soekarno menghembuskan napas terakhirnya. Jenazahnya disemayamkan di Wisma Yaso sebelum dimakamkan di Blitar, Jawa Timur, berdekatan dengan makam kedua orang tuanya. Kematiannya menandai berakhirnya sebuah era, era di mana Indonesia berjuang untuk menemukan jati dirinya di tengah badai pasca-kolonial. Namun, meski jasadnya telah tiada, gagasan dan nilai-nilai yang ia perjuangkan, khususnya Pancasila, tetap hidup.
Abadi dalam Gagasan
Di tengah semua gejolak dan tragedi yang menyelimuti hari-hari terakhirnya, satu hal yang tak bisa dihapus adalah peranan Soekarno sebagai pencetus Pancasila. Pada tanggal 1 Juni 1945, di hadapan Sidang BPUPKI, Soekarno dengan fasih menyampaikan gagasannya tentang dasar negara yang akan menopang Indonesia merdeka. Lima sila Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa disampaikan dengan semangat yang membara, menawarkan sebuah filosofi yang menggabungkan nilai-nilai lokal dengan prinsip-prinsip universal.
Pancasila bukan sekadar kumpulan kata, melainkan sebuah pandangan hidup, sebuah bintang penuntun bagi perjalanan bangsa Indonesia. Pancasila dirumuskan untuk menjembatani berbagai perbedaan etnis, agama, dan budaya yang ada di nusantara. Soekarno menyadari bahwa persatuan tidak bisa dibangun di atas keseragaman, melainkan di atas keberagaman yang diikat oleh prinsip-prinsip fundamental. Pancasila adalah jembatan ideologi yang kokoh, dirancang untuk mencegah perpecahan dan memastikan kohesi sosial. Meskipun dalam implementasinya Pancasila mengalami pasang surut dan seringkali dimanipulasi untuk kepentingan politik, esensi dari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tetap relevan. Soekarno bahkan pernah mengatakan, "Pancasila itu adalah jiwa kita, raga kita, semangat kita." Ini menunjukkan betapa mendalamnya keyakinan Soekarno terhadap Pancasila sebagai identitas bangsa.
Soekarno wafat dalam kesunyian, jauh dari hingar bingar kekuasaan yang pernah ia genggam. Namun, kematiannya tidak serta merta mengubur gagasan-gagasannya. Pancasila, yang ia gali dari khazanah keindonesiaan, tetap menjadi dasar negara dan falsafah hidup bangsa. Hari-hari terakhirnya yang penuh penderitaan menjadi pengingat akan kerapuhan kekuasaan dan dinamika politik yang kejam. Namun, di balik semua itu, terhampar hikmah nilai yang tak lekang oleh waktu: pentingnya kedaulatan rakyat, kemandirian, pengamalan Pancasila, resiliensi, kewaspadaan terhadap kekuasaan yang tak terkontrol, dan pelajaran dari sejarah. Soekarno, Sang Fajar Revolusi, mungkin telah tiada. Namun, api perjuangannya dan ide-ide briliannya, terutama Pancasila, akan senantiasa membakar semangat bangsa Indonesia untuk terus maju, bersatu, dan mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang sejati.